Saturday, March 27, 2010

Popeda

Banyak hal yang saya dapatkan dari ekspedisi Maluku kemarin, salah satunya adalah tentang makanan khas Ternate (atau Maluku pada umumnya) yang bernama Popeda. Makanan ini khas karena menggunakan sagu sebagai pengganti nasi. Mungkin kata 'pengganti' dalam kalimat terakhir tidaklah tepat karena sejak SD dulu rasanya saya sudah diajari bahwa makanan utama masyarakat seputar Maluku memanglah sagu. Jadi justru nasilah yang sekarang telah mengganti sagu sebagai makanan utama masyarakat di sana. Karena itu, mencari restoran yang menyajikan Popeda di Ternate bukanlah hal yang mudah. (miris)

Saat pertama saya bersentuhan dengan Popeda adalah saat yang tak terlupakan. Saya dan seorang teman perjalanan dengan penuh percaya diri memesan dua porsi Popeda. Setelah menunggu beberapa lama, keluarlah semangkuk besar ikan masak woku (sup ikan khas Manado). OK, kami mengira, inilah lauknya. Kamipun bersiap untuk makan. Namun beberapa saat kemudian, keluarlah sebuah nampan besar berisi mangkuk-mangkuk makanan yang isinya: sayur mentah dengan bumbu kacang (mirip karedok), semacam tumis kangkung, sup ikan berwarna merah, singkong rebus, dan pisang rebus. Saat itu kami berdua sudah mulai kelabakan karena begitu banyak makanan di atas meja. Dan rupanya gelontoran makanan tidak berhenti sampai di situ. Masih keluar lagi sepiring ikan goreng, aneka sambal, dan sebagai gongnya, semangkung besar sagu kental nan kenyal. Kamipun geleng-geleng kebingungan.
Beruntung ibu pemilik restoran tahu bahwa kami adalah pelancong yang baru pertama kali melihat Popeda dan menawarkan bantuan untuk menunjukkan cara mencampur semua makanan itu.

Jadi pertama, tuangkan kuah ikan ke piring (silakan pilih kuah yang mana, dicampur aduk juga boleh). Kedua, taruh sagu kentalnya ke atas piring yang sudah berkuah itu (cara mengambil sagu yang lengket itu rupanya tidak mudah lho! Harus dipilin-pilin memakai kayu seperti sumpit). Ketiga, silakan mulai makan dengan campuran lauk pauk yang ada.

Bagi saya, yang paling unik dari kulineran kali ini adalah cara memakan pisang rebusnya. Jadi, pisang rebus nan manis dengan lumuran santan itu dimakan dengan menggunakan sambal terasi dan bumbu kacang! Inilah pertama kalinya saya menyatukan pisang rebus dengan sambal terasi. Awalnya tidak tega, tapi mau bagaimana lagi? Perpaduan aneh dengan rasa unik.

Popeda lengkap dengan lauk pauk

Wednesday, March 10, 2010

Mie Aceh Meutia

Kadang-kadang adalah sebuah kebanggaan tersendiri untuk mengetahui kalau ada orang yang dengan setia membaca blog ini. Saya sempat nyaris terisak ketika membaca di salah satu timeline twitter kalau kulineran sempat menjadi top search google. Itu benar-benar menjadi sesuatu yang membahagiakan saya, dan Narcistbandit pasti merasakan hal yang sama, saya percaya.

Masih berkaitan dengan hal di atas, saya juga mau mengucapkan terima kasih untuk semua komentar-komentar yang diberikan, baik melalui obrolan melalui internet, email atau bahkan obrolan-obrolan ketika bertemu. Salah satu teman saya bertanya mengapa rasanya kulineran itu banyak sekali memuat makanan chinese (Merci beaucoup, M. DW!). Yah, sarannya diterima dan kami akan mengusahakan untuk menambahkan variasi jenis tempat makannya deh!

Yah, Sabtu kemarin saya membantu teman sedikit dengan pekerjaannya. Kebetulan saya harus datang ke tempatnya di daerah Ciledug. Jujur saja, saya termasuk orang yang kurang pengetahuan dalam hal area di Jakarta. Saya termasuk penduduk Jakarta yang sangat bergantung pada kemurahan supir taksi, khususnya untuk daerah-daerah yang belum pernah saya kunjungi.

Sepulang dari tempat teman saya itu, saya tidak berhasil mendapatkan taksi, saya disarankan ke Blok M, lalu melanjutkan dengan TransJakarta ke Kota. Ketika sampai di halte perhentian di depan Pacific Place, saya terpikirkan tempat makan mie Aceh di Bendungan Hilir. Saya memutuskan untuk turun di halte tersebut.

Dengan berjalan kaki sekitar 5 - 10 menit, saya menemukan rumah makan Meutia, rumah makan makanan khas Aceh. Kalau lagu "La vie en rose" mengingatkan saya akan Paris (belagu bener ya?), ondel-ondel mengingatkan saya akan kota Jakarta, mungkin Meutia bisa mengingatkan orang yang pernah ke Aceh akan propinsi di ujung pulau Sumatra tersebut (see, Danang, I'm not that ignorant when it comes to map!).

Dengan interior disain yang dilengkapi dengan gendang Aceh, tenunan kain Aceh dan beberapa foto jaman dulu. Meja makannya juga terbuat dari kayu yang kokoh memberikan kesan tradisional. Saya memesan mie goreng basah udang dan ayam tangkap buat pelengkap saja.

Bumbu mie goreng-nya tajam banget dan berasa sampai ke dalam perut. Pertama saya bingung, karena selain satu piring mie goreng, saya dihidangi juga dengan satu piring tambahan yang isinya potongan bawang merah, jeruk limo dan emping. Saya baru mengerti kalau potongan bawang dan jeruk itu penting bukan hanya untuk menetralkan ketajaman bumbu mie gorengnya, tetapi justru membuat mie gorengnya menjadi lebih mantap.

Ayam goreng tangkap-nya sendiri terdiri dari potongan-potongan ayam kecil dengan daun tangkap. Begitu potongan pertama saya kunyah, tangan saya tidak dapat berhenti mengunyah ayam goreng ini. Mie aceh itu terkenal dimasak dengan kepiting, kebetulan ketika saya berkunjung kepiting yang tersedia kurang menarik, saya memilih dengan udang. Pramusaji Meutia juga berpesan kalau memang mie goreng Aceh dengan kepiting yang menjadi incaran, ada baiknya menghubungi mereka dengan telepon.

Meutia - Masakan Aceh
Jl. Raya Bendungan Hilir Kav. 36A No. 16
Jakarta Pusat
Phone: (021) 573 6718

Monday, March 1, 2010

Siomay Raden Saleh

Saya mempunyai dua orang sahabat yang kalau diajak ngobrol tentang makanan pasti nyambung saja. Diana dan Clifford, yang kebetulan kalau pulang dari kantor, kita melewati rute yang sama. Karena dua hal ini, gak heran kalau kami (tergantung mood dan ketebalan kantong juga) menyempatkan diri untuk memanjakan alat pengecap.

Salah satu tempat makan yang menjadi tempat nongkrong kesukaan kami itu adalah Siomay Raden Saleh. Karena lumayan sering kami nongkrong di tempat ini, gak heran kalau kami sudah menggunakan nama depan dengan si penjual siomay, Hendri. Kami merujuk tempat nongkrong murah-meriah-mantap ini dengan panggilan Siomay Hendri.

Apa yang membedakan Siomay si Hendri dengan siomay-siomay lainnya? Bukannya makanan-makanan seperti siomay atau bakso itu begitu umumnya, sehingga standard untuk menentukan satu lebih enak daripada yang lain itu buram banget.

Nah, siomay Hendri ini kerasa banget asli ikannya, jadi bukan gumpalan tepung sebagaimana siomay yang dijual dengan sepeda pada umumnya. Bumbu kacangnya itu sulit untuk dituangkan dalam kata-kata, membayangkan saja saat ini membuat saya lapar lagi. Yang paling penting, Hendri itu boros banget menuangkan bumbu kacangnya.

Kalau lagi musim-nya makan siomay (emang ada yah musimnya? HEHEHEHE. Maksudnya lagi ramai-ramai-nya), Hendri cuma jualan dari jam 5:30 sampai jam 6:00 sore. Saya tidak bercanda untuk hal ini. Siomay satu panci gede itu bisa habis dalam waktu 30menit sampai 1 jam. Siomay Hendri juga merupakan satu-satunya tempat makan yang saya harus tungguin, karena pernah sekali, saya tiba duluan dan Hendri (dengan sepeda ontel-nya) kejebak macet. HEHEHE.

Siomay Hendri
Depan tempat photocopy Ragil
Depan rumah makan CS
Jl. Raden Saleh
Jakarta Pusat