Wednesday, June 30, 2010

Gelato Italiano!

Fakta mengenai Pisa Cafe adalah cafe ini sudah berdiri sejak 20 tahun yang lalu tepat akhir bulan April yang lalu. Spesialisasi di makanan Italia, semisalnya beragam jenis pasta, pizza dan pastinya gelato. Pertanyaan teman saya mengenai perbedaan gelato (atau gelati dalam bentuk jamak) dengan es krim sangat mengusik saya. Setelah ber-google, saya menemukan beberapa fakta di bawah ini:
  1. Perbedaan kadar lemaknya, jika es krim terbuat dari susu dan krim, makan gelato hanya menggunakan susu sebagai bahan dasarnya, hingga kadar lemak gelato hanya separuh kadar lemak es krim (bahkan di beberapa depot gelato, dinyatakan bebas lemak)
  2. Tekstur gelato lebih padat daripada es krim. Hal ini dimungkinkan karena proses pengadukan susu (dan krim tersebut). Ini juga yang membuat gelato lebih membutuhkan waktu dalam proses pembuatannya
  3. Suhu penyimpanan gelato lebih hangat daripada es krim, sehingga ketika disajikan gelato tidak sulit untuk dikonsumsi karena faktor dingin.

Ada puluhan daftar gelato di menu Pisa Cafe dan saya percaya masing-masing gelato memiliki kenikmatannya tersendiri. Jika kunjungan saya kali hanya berkesempatan mencicipi 2 dari daftar menu tersebut. Coppa Macedonia yang adalah gelato 3 rasa dengan ditemani potongan buah-buahan seperti melon, pepaya, jeruk dan stroberi. Yang kedua adalah Banana Split dengan gelato 3 rasa juga.

Saya adalah penggemar berat GELATO dan Kafe Pisa adalah firdaus-nya. I hope this line says as much as you need to know about my experience.

Kafe Pisa
Jl. Gereja Theresia No. 1
Menteng, Jakarta Pusat
Phone: (021) 3100149

Thursday, June 24, 2010

Pong!

Jika salah satu situs berita menantang pembacanya untuk rela mengantri demi sepotong tahu enak, saya yakin kalau ini adalah tantangan yang harus dijabani. Sayangnya, situs tersebut lupa juga menyampaikan tantangan-tantangan lain, misalnya kalau hujan, cipratan hujan tak akan terelakan. Belum lagi tata kota daerah Hayam Wuruk yang sangat mengancam nyawa pejalan kaki di sini.

Namun begitu, sore menjelang malam (Tahu Pong Semarang mulai beroperasi pukul 17:00), ratusan motor yang mencoba menghalangi tidak mampu memadamkan semangat kami mencapai utopia deep-fried tersebut.

Di sini, nyaris semua yang di daftar menu diolah dengan deep-fried. Baik kalau pengentahuan anda mengenai tahu pong, emplek atau gimbal sangat minim (sama seperti saya tadinya), saya akan coba menjelaskan sedikit. Tahu pong itu merupakan kependekan dari tahu kopong, tahu yang isinya kosong, sedangkan tahu emplek adalah kebalikannya, tahunya padat.

Sedangkan gimbal itu laksana bakwan udang, kalau dari foto di atas, gimbal itu potongan gede yang menutupi tahu-tahu di bawahnya. Bulat ujung sebelah kiri itu adalah telur rebus yang kemudian digoreng (deep-fried boiled egg).

Makanan khas Semarang ini dihidangkan dengan paling tidak ada 3 sampai 4 macam kecap atau sambal sebagai temannya. Ada kecap manis gurih, kuah kacang yang kemerah-merahan, sambal hijau dan sambal merah. Semuanya layak dicoba dan sama nikmatnya ketika dicocolkan ke potongan-potongan tahu atau gimbal.

Selain tahu, rumah makan ini juga menyajikan ayam goreng. Lucunya saat saya memesan paha, potongan ayam yang diberikan adalah dari paha hingga ceker, jadi benar-benar komplit yah. Oya, RM Tahu Pong Semarang itu berlokasi di jalur saya pulang ke rumah. Setelah kunjungan pertama kemarin, rasanya rumah makan ini akan jadi tempat singgahan saya kalau saya lagi pengen tahu! Pong!

Tahu Pong Semarang
Sebelah Toko Kelontong Rejeki
Hayam Wuruk, Jakarta Pusat
Phone: 081874 0893

Sunday, June 20, 2010

Berpetualang ke Tempo Dulu di Huize Trivelli

Ini adalah sebuah restoran yang untuk mencapainya kami butuh mandi peluh terlebih dahulu. Bukan karena tempatnya yang tidak terjangkau kendaraan, tapi karena memang kami tidak sengaja melewati Jl. Abdul Muis dan tidak sengaja pula melihat penunjuk Jl. Tanah Abang II. Memang benar Huize Trivelli terletak di Jl. Tanah Abang II tapi bukan di sisi tempat kami turun dari mikrolet melainkan di ujung lainnya, dekat Jl. Musi dan Jl. Cimalaya. Jadilah kami habis dipanggang teriknya matahari Jakarta siang itu.

Untungnya, begitu sampai di restoran yang rindang ini, kami segera terhibur oleh tata ruangan yang sangat unik. Peluhpun segera hilang diterpa sejuknya udara di ruang makan keluarga Trivelli. Ya, restoran Huize Trivelli memang sebuah restoran yang adalah bagian dari rumah keluarga Trivelli, keluarga keturunan Belanda yang menetap di Indonesia. Masuk ke ruang makan ini, serasa masuk mesin waktu yang membawa kami ke jaman pra-kemerdekaan.

Setelah duduk di meja makan bundar berukuran besar, berbahan kayu jati yang kokoh, pelayan berpakaian khas pelayan di era penjajahanpun datang membawakan menu. Menu di sini adalah percampuran antara menu Eropa dan Indonesia (serasa kembali ke rumah eyang saya dulu). Hampir semua makanan dan minuman di sini diberi nama yang unik. Sebut saja Nasi Bebek Goreng Empon Empon, Es Sinyoo Seneng dihati dan Bier Pletok. Dan inilah taktik dagang mereka. Nama yang unik membuat kami penasaran dan memesan.

Selesai memesan, saya segera berkeliling melihat-lihat hiasan rumah yang tertata rapi. Lukisan-lukisan, barang-barang antik, foto-foto, benar-benar memukau. Saya benar-benar kehilangan kesadaran akan dimensi ruang dan waktu karena serasa ditarik masuk ke dalam lubang yang membawa saya berpetualang ke masa lalu.

Ruang makan utama.

Ada juga ruang makan yang lebih privat.

Sayang makanan di restoran yang sangat indah ini tidak terlalu istimewa rasanya. Apalagi bila dilihat bahwa harganya tidak terlalu murah. Minumannyapun demikian. Boleh dibilang bahwa restoran ini lebih menjual suasana daripada makanan dan minumannya.

Saran kami, pilihlah menu makanan Eropa dan jangan cobai bebeknya.

Huize Trivelli
Jl. Tanah Abang II No. 108
Tjideng - Jakarta Pusat 10150
Telp: 021-386 5803 / 351 0467
Fax: 021-386 5803
E-mail: info@huize-trivelli.com
Website: www.huize-trivelli.com

Thursday, June 10, 2010

Berkunjung ke Roemah Nenek



Ini bukan rumah nenek saya. Tapi ini adalah sebuah restoran di bilangan Taman Cibeunying, Bandung. Bagaimana saya bisa sampai disitu, adalah sebuah keajaiban, karena saya benar-benar nggak kenal jalan-jalan di Bandung. Berbekal sebuah peta hasil coret-moret seorang saudara yang gagap menyebut KFC (dia nyebutnya kei-ef-ci), saya mencoba menjelajah labirin kota Bandung nan padat disiang hari.

Setibanya disana (syukurnya tanpa kesasar), yang saya dapati adalah sebuah rumah bergaya tempo doeloe nan adem oleh pepohonan rindang. Dekorasi restoran ini sederhana. Tidak neko-neko. Benar-benar layaknya rumah nenek nan asri dan siap menanti cucu-cucu yang rindu akan kehangatan khas eyang.

Makanan yang ditawarkan cukup beragam. Mulai dari makanan barat (steak, dan lain-lain), makanan Sunda, dan makanan Indonesia pada umumnya. Di dalam buku menu juga disebutkan makanan-makanan khas Roemah Nenek yang cukup unik. Saya jelas memilih makanan unik itu. Dan pilihan jatuh pada Nasi Pepes Bakar (nasi putih yang pulen, dipepes bersama potongan daging ayam, ikan asin, pete, dan sayuran, kemudian dibakar). Untuk minuman saya pilih Jahe Rempah Spesial (seduan jahe, daun sereh, teh, gula merah, kayu manis, cengkeh, dan daun pandan) yang benar-benar menghangatkan badan nan kedinginan digigit udara Bandung yang mendung seharian.

Puas dengan makanan ronde pertama, saya mulai menggila menelusuri daftar menu untuk makanan ronde kedua. Maklum, makanan di resto ini bisa dibilang murah sehingga saya bisa bebas tambah makanan. Pilihan jatuh pada Kambing Bakar. Sayang pilihan saya kali ini kurang tepat. Rasanya yang nggak jelas dan porsinya yang sangat kecil membuat saya kecewa beberapa jenak. Untung saya juga memesan Iga Bakar. Dan Iga Bakar itu benar-benar mengobati rasa kecewa saya. Rasanya yang enak dengan saus yang meresap, serta daging yang empuk, berhasil membuai lidah yang hampir menyatakan protes.

Secara keseluruhan, resto ini patut dapat acungan jempol. Suasananya dapet banget. Perabot jadul (minjam istilahnya pak Bondan) yang selalu melekat dalam bayangan saya tentang rumah seorang nenek ada disana. Makanan dan harganya cukup masuk akal. Pelayanannya cepat. Dan yang nggak kalah penting, di Roemah Nenek yang satu ini, saya bisa menyalurkan hasrat ber free wifi! Rumah nenek mana lagi coba yang bisa begini???

Roemah Nenek
Jl. Taman Cibeunying Selatan No. 47
Bandung - Indonesia
Telp/Fax: (+62-22) 727 1745

Sunday, June 6, 2010

Hiu, Ganja dan Kepiting

(ki-ka/atas-bawah) Ikan hiu gulai, Sambal Ganja, Mie Goreng Kepiting, Ikan Kayu (Keumamah)

Saat pertama kali saya menuliskan post tentang mie Aceh Meuthia, di antara teman-teman saya terbagi menjadi 2 kubu. Kubu yang pertama menyukai mie Aceh Meuthia, namun sebagian teman-teman saya menyarankan saya untuk mengunjungi Seulawah, yang letaknya masih satu jalan raya dengan Meuthia, tetapi masih jauh masuk ke dalam.

Karena letaknya yang lumayan jauh, saya beberapa kali sempat menyerah dan menyarankan tempat makan yang lain (jangan membiarkan alamat dengan nomor 8 menipu, walau katanya nomor 8, tapi rumah di Bendungan Hilir itu acak-kadut, jadi jangan berharap menemukan angka 8 setelah angka 7).

Tapi begitu menemukan papan besar bertuliskan Seulawah, rasanya tidak sia-sia jarak jalan kaki yang saya tempuh itu (iya, ketahuan sekali kalau saya kurang berolah-raga). Saya sudah membayangkan mie goreng Aceh yang terkenal dengan rempah-nya dan biasanya dihidangkan dengan super-panas. Begitu masuk di rumah makan tersebut, saya melihat ada beberapa publikasi cetak yang dibingkai dan dipajang di dinding rumah makan ini.

Selain mie goreng aceh yang menjadi andalan mereka, ternyata ada beberapa masakan lain yang membuat Seulawah dikenal khalayak ramai. Ikan kayu (atau Keumamah) yang masakannya seperti suwiran ikan tongkol yang bentuknya seperti klupasan kulit kayu (HAHAHA), namun rasanya asin dan sedikit manis di ujung setiap kunyahan. Buat saya (turunan dari ibu saya nih), sayur ikan kayu, nasi putih panas dan sambal hijau sudah cukup sebagai menu makan siang.

Menu lain yang membuat alis saya berkenyit adalah gulai ikan hiu. Bentuk masakannya sendiri seperti gulai pada umumnya dengan potongan-potongan ikan. Saya sempat sedikit ragu untuk mencicipi masakan ini, karena beberapa artikel yang saya baca, kalau ikan pemakan ikan biasanya mempunyai tingkat mercury yang tinggi. Namun, saya coba saja satu potong dan rasanya seperti ... ikan, hanya bumbunya sendiri sangat aromatik dan gurih.

Sambal ganja juga sangat menggelitik rasa penasaran saya, yang pendapat saya seperti urap sayur hasil blender. HAHAHA. Sambal ganja (lucunya di Seulawah, tulisan ganja di sini memakai tanda petik) adalah campuran daun-daun (hanya sang juru masak dan Tuhan yang tahu apa isinya), belimbing wuluh, buncis dan udang (atau ikan) yang sudah halus. Beberapa situs masak menuliskan kalau sambal ini menggunakan kakas atau di Aceh dikenal sebagai biji ganja. Alhasil dari acara makan di sini kami berlima, tidak ada yang mabuk atau berhalusinasi.

Dan tentu saja, pesanan wajib adalah mie goreng kepiting! Seperti mie-mie Aceh pada lainnya, bumbu yang diracik dari berbagai rempah sangat berasa (bahkan Seulawah menuliskan kalau bumbu mereka didatangkan khusus dari Aceh). Nah kalau saya ditanya, saya itu termasuk kubu mana dalam hal mie Aceh goreng, saya akan bilang saya kubu dari tempat makan yang satu lagi. HAHAHAHA.

Hoya, catatan lain dari kunjungan saya, warna masakan Aceh itu sangat indah yah. Saya suka warna gulai yang kuning keemasan, warna daun rebus yang hijau, warna sambal yang merah, hijau bahkan putih kecoklat muda (warna sambal ganja Aceh).

RM Khas Aceh Seulawah
Jl. Bendungan Hilir Raya No. 8
Jakarta Pusat
Phone: (021) 5708660

Wednesday, June 2, 2010

Bakmi Camat Tan

Awalnya saya sedikit keberatan untuk mengunjungi tempat makan bakmi dalam rangkaian wisata kuliner. Ini biasanya karena konsumsi bakmi cenderung menghabiskan kapasitas perut, sehingga membatasi kesempatan saya untuk menikmati menu-menu lainnya. Namun, satu teman saya sangat berkeras-hati (atau mungkin hati kami luluh saja melihat mukanya yang miris) kalau kami harus mampir di Bakmi Tan.

Jalan Mangga Besar IV tidak terlalu jauh dari belokan Olimo, kurang-lebih sekitar 500meter di sebelah kanan jalan utama Mangga Besar (jika arahnya dari Hayam Wuruk). Bakmi Tan sendiri terletak sekitar 4 rumah dari kantor pajak Mangga Besar.

Saya memesan bakmi Tan dengan pangsit dan teman saya memesan bakmi Tan dengan bakso. Bentuk bakmi-nya sendiri seperti bakmi Pontianak pada umumnya, lurus dan tidak terlalu tipis, tetapi tidak terlalu tebal juga. Mungkin yang menggugah rasa penasaran saya adalah lauk Bakmi Tan. Selain ayam kampung kukus (seperti bakmi pada umumnya), juga terdapat potongan-potongan (seperti) bakwan tipis, yang mungkin akan lebih mantap lagi kalau digoreng lebih garing.

Kuah bakmi (dan pangsitnya sendiri) terdapat gumpalan-gumpalan minyak babi kering dan gorengan bawang putih yang membuat kuahnya semakin gurih. Di setiap meja, Bakmi Tan juga menyediakan satu stoples berisi gorengan minyak babi, sehingga setiap pengunjung dapat menambahkan sesuai selera.

Dari kenikmatan bakmi-nya, Bakmi Tan tidak terlalu istimewa, tetapi satu hal yang perlu saya ancungin jempol yaitu lauk yang lumayan banyak dan khususnya pernak-pernik kuah sehingga baik bakmi mapun kuahnya, sama-sama lezat.

Bakmi CamatTan
Jl. Mangga Besar IV No. 4D
Jakarta Pusat
Phone: (021) 4655 5815